Artikel
Sejarah Desa Bugbug
Sejarah Desa Bugbug
Desa Bugbug berawal dari suatu kisah penggambaran keturunan Bangsa Austroninesia yang telah menyebar dan mendiami seluruh wilayah Pulau Bali dengan pola hidup mereka masih berkelompok kelompok dan berpindah pindah dengan Jero Mekel – Jero Mekel sebagai pemimpin - pemimpin mereka. Kelompok inilah membuat pra-desa pertama di daerah Pesubakan Lumpadang yang selanjutnya membangun Desa Bugbug dengan menyebut dirinya Kitaruna Bali Mula atau orang bali mula. Ketika tu mereka masih menganut aliran Waisnawa namun mereka masih belum tahu tata beragama secara utuh. Mereka hanya percaya dan menyembah leluhur yang lazim disebut Hyang (Hyang Ing Sida Dewata). Ki Taruna Bali Mula adalah nama (Bhiseka) lain dari Bhatara Gede Gumang. Bhatara Gede Gumang juga mempunyai Bhiseka lainnya, seperti Bhiseka Sang Hyang Sinuhun Kidul ketika beliau beristana di Pura Bukit Huluwatu. Dan juga disebut dengan Bhiseka Bhatara Gde Sakti. Kemudian beliau mempersunting Putri Bhatara Gede di Pura Bukit atau Gili Biyaha yaitu Dewi Ayu Mas. Setelah menjadi Ardhanareswari lalu beliau menuju Bukit Gumang dengan membawa tatwa usada dan tatwa kedyatmikan bersama – sama dengan Bhagawan Cakru, Bhagawan Manggapuspa, Mpu Siwa Sogatha, dan selanjutnya beristana di Pura Bukit Gumang Desa Pakraman Bugbug Kabupaten Karangasem.
Selanjutnya belaiulah yang menjadi sesuhunan/junjungan/pemujaan bagi masyarakat Bugbug, Bebandem, Datah, Jasri, dan Ngis di Kabupaten Karangasem. Beliau juga disebut dengan Ida Gde Bebandem, Datah, Jasri, dan Ngis di Kabupaten Karangasem. Beliau bersama Bhagawan Cakru, Bhagawan Manggapuspa, dan Mpu Siwa Sogatha mengajarkan orang – orang yang tinggal di sekitar Bukit Gumang tentang tata agama, tata krama bermasyarakat, bercocok tanam, beternak, melaut, dan membuat peralatan baik dari kayu maupun dari benda – benda lainnya. Beliau pula yang membuka areal persawahan dan mendirikan gubuk – gubuk di sekitar Bukit Gumang seperti : Sabuni, Tegakin, Malegok, Lumpadang, Belong, dan sekitarnya. Serta membangun tempat memande (membuat segala peralatan) untuk kepentingan bertani, melaut, dan sebagainya di sebelah selatan pra desa Malegok, yang selanjutnya menjadi tempat pemujaan yang disebut Pura Pasujan, untuk memuja yang Mpuning Pande. Kemudian dilanjutkan ke pra desa lainnya di sekitar Mel Pahang, Pangiyu, Gantalan, Gorek, Teba Kangin, Delod Poh, Segayas yang selanjutnya dinamakan dengan Persubakan.
Tanah tersebut kemudian diterima sebagai tanah Ayahan desa yang sampai saat kini masih diyakini dan masih diayahkan oleh orang – orang bali mula yang disebut dengan Krama Desa Ngarep (Prasasti Desa Bugbug) yang berjumlah 120 Kepala Keluarga yang diberi sebutan Gebogan Agung Satus Dwangdasa. Krama Desa Ngarep inilah yang merupakan penduduk asli Desa Bugbug yang pola kemasyarakatannya belum tertata, kebiasan hidup mereka masih berpindah pindah. Mengenai jumlah penduduk ketika itu baru berjumlah 120 Kepala Keluarga yang diberi sebutan Gebogan Agung Satus Dwangdasa yang terbagi menjadi beberapa kelompok yang mendiami gubuk – gubuk pada pra desa di sekitar Bukit Gumang antara lain : Gebogan Satus, Gebogan Satak, Gebogan Samas, & Gebogan Domas. Dan terbagi menjadi empat kelompok yaitu :
- Kelompok Sabuni, Tegakin, dan Malegok,
- Kelompok Belong dan Lumpadang,
- Kelompok Gantalan, Mepahayang dan Pangiyu,
- Kelompok Gorek, Lebah Kangin, Delod Poh, dan Segayas.
Pada golongan – golongan tersebut mempunyai 8 pimpinan yang disebut dengan I Luput dan yang 112 merupakan krama pengayah disebut Krama I Satus Roras.
Inilah yang menjadi cikal bakal sebagai awal berdirinya Desa Bugbug yang dikenal dengan Krama Desa Ngarep dengan mendapatkan bukti Sawah Winih sebagai Tanah Ayahan Desa yang digunakan untuk kesejahteraan serta biaya – biaya upacara keagamaan di wilayah Desa Pakraman Bugbug guna mempertahankan kelestarian tata agama adat istiadat yang telah diwarisi sejak dahulu samapai kelak kemudian hari.
Sumber : Prasasti Desa Bugbug yang berangka tahun 1103 saka.